PENERAPAN BUDIDAYA UDANG RAMAH LINGKUNGAN
DAN BERKELANJUTAN MELALUI APLIKASI BAKTERI ANTAGONIS UNTUK
BIOKONTROL VIBRIOSIS UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabr.)
Fakhrudin
Al Rozi
Jurusan
Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
RINGKASAN
Pemanfaatan bakteri
antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting dari segi
ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan
antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan dan mempersiapkan
suatu sistem akuakultur organik yang akhir-akhir ini semakin kuat sehingga
penggunaan bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikan sebagai
dasar budidaya udang organik di Indonesia. Kepedulian lingkungan, meningkatnya konsumsi ikan, dan berkembangnya pasar
makanan organik telah memunculkan keinginan untuk mewujudkan akuakultur organik
sehingga aplikasi bakteri antagonis dapat dijadikan sebagai dasar budidaya
udang organik di Indonesia.
Pemenang lomba Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM) bidang Lingkungan hidup Tingkat Nasional Tahun 2008 di Surabaya, 31 Oktober – 2 November 2008
I. PENDAHULUAN
Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan primadona komoditas
perikanan yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan
internasional. Usaha budidaya udang windu berkembang cepat karena selain
merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang potensial untuk ekspor,
udang windu juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat.
Adanya kecenderungan perubahan pola konsumsi dunia dari daging ke produk ikan dan
udang juga semakin memperluas peluang pasar. Hal
ini sesuai dengan kebijakan pembangunan perikanan yang mengupayakan peningkatan
ekspor tanpa menganggu peningkatan konsumsi ikan di dalam negeri.
Kegiatan
budidaya udang windu secara nasional mencapai puncaknya pada tahun 1991 dan
setelah itu menurun drastis karena kegagalan panen akibat penyakit dan
merosotnya daya dukung lahan serta lingkungan. Pada kurung waktu 15 tahun terakhir, masalah
lingkungan sering diperdebatkan sebagai biang kegagalan budidaya udang, yang
disinyalir bermula dari menurunnya kualitas lingkungan air tambak. Dalam sistem budidaya udang intensif,
kontribusi pakan terhadap penurunan kualitas lingkungan air tambak tidak bisa
dipungkuri. Berton-ton pakan sebagai
bahan organik dimasukan kedalam petakan tambak dengan harapan dapat memproduksi
udang secara maksimal (Anonim, 2004c).
Padahal, praktek ini dapat menurunkan kualitas air tambak yang berdampak
pada pertumbuhan mikroorganisme patogen dan hama, serta memberikan tekanan
terhadap kondisi fisiologi udang, yang pada akhirnya menurunkan kemampuan lingkungan tambak. Semula kegagalan budidaya udang windu dijumpai pada
tambak udang intensif, namun akhir-akhir ini pada tambak tradisional juga
banyak mengalami kehancuran.
Permasalahan utama yang
dihadapi petambak udang windu adalah serangan penyakit bakteri udang menyala (luminescent
vibriosis), karena udang yang terserang pada keadaan gelap tampak bercahaya. Penyebab penyakit udang
menyala tersebut adalah bakteri Vibrio yang menyebabkan wabah pada awal tahun 1990 hingga sekarang
(Irianto, 2003). Hal ini terjadi karena merosotnya mutu lingkungan budidaya
yaitu mutu air sumber dari perairan di sekitarnya dan mutu lingkungan tambak
sendiri (Atmosumarsono et al., 1995). Bakteri Vibrio
melakukan serangan secara ganas dan cepat sehingga dapat menimbulkan kematian total serta menyerang
udang di pembenihan maupun pembesaran. Prayitno (1994) menyebutkan bahwa dari
segi ekonomi, berjangkitnya wabah penyakit
vibriosis ini melemahkan roda industri udang nasional.
Berbagai penelitian telah
dilakukan untuk mendapatkan suatu metode pencegahan dan penanggulangan penyakit
udang windu, antara lain penggunaan obat-obatan dan antibiotik. Penggunaan
antibiotik dan bahan kimia tidak efektif lagi karena tidak memberikan hasil
yang memuaskan karena pada dosis tertentu justru berdampak negatif dengan meningkatkan
resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al.,
1994). Sejumlah isolat Vibrio berpendar yang
diisolasi dari tempat pembenihan udang windu di Jawa Timur ternyata resisten terhadap berbagai macam antibiotik seperti
spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol,
eritromisin, kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak antibiotik
bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang
Indonesia (Tompo et al., 2006).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna mempertahankan
keberlanjutan daya dukung ekosistem tambak adalah melalui penggantian aplikasi
bahan kimia dan obat-obatan melalui aplikasi musuh alami hama penyakit dan
patogen. Program eksplorasi dan pengembangan musuh alami untuk pengendalian
hama dan penyakit akan sangat efektif diterapkan dalam upaya pengendalian hama
dan penyakit terpadu yaitu melalui aplikasi probiotik. Untuk mengembangkan probiotik yang dapat mengendalikan penyakit telah
dilakukan studi mengenai mikroorganisme yang mempunyai kemampuan menekan
patogen. Salah satu bentuk probiotik adalah konsorsia bakteri antagonis
terhadap patogen udang yang efektif menekan populasi patogen dalam ekosistem
tambak. Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis
(Jiravanichpaisal dan Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat
menghambat Vibrio anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp.
dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio
(Suprapto, 2005). Pemanfaatan
bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting dari
segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan
penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan sekaligus
menerapkan sistem keamanan hayati untuk mengurangi risiko kontaminasi
penyakit pada produksi budidaya udang.
II. TELAAH PUSTAKA
2.1 Bakteri Vibrio sp.
Bakteri Vibrio merupakan genus yang dominan
pada lingkungan air payau dan estuaria. Umumnya bakteri Vibrio menyebabkan
penyakit pada hewan perairan laut dan payau. Sejumlah spesies Vibrio yang dikenal sebagai patogen seperti V. alginolyticus, V. anguillarum, V. carchariae, V. cholerae, V. harveyii, V.
ordalii dan V. vulnificus (Irianto, 2003). Menurut Egidius (1987)
Vibrio sp.
menyerang lebih dari 40 spesies ikan
di 16 negara. Vibrio
sp. mempunyai sifat gram negatif, sel tunggal berbentuk batang pendek yang
bengkok (koma) atau lurus, berukuran panjang (1,4 – 5,0) µm dan lebar (0,3 –
1,3) µm, motil, dan mempunyai flagella polar (Gambar 1). Menurut Pitogo et al., (1990), karakteristik
spesies Vibrio berpendar (Tabel 1). Sifat biokimia Vibrio adalah
oksidase positif, fermentatif terhadap glukosa dan sensisif terhadap uji O/129
(Logan, 1994 cit. Gultom, 2003).
A. Vibrio harveyii (Anonim, 2000)
|
B. Bioluminescens (Machalek, 2004)
|
|
Gambar 1. Bakteri Vibrio harveyii dan
Bioluminescens
|
Bakteri Vibrio sp. adalah jenis bakteri yang dapat hidup pada
salinitas yang relatif tinggi. Menurut
Rheinheiner (1985) cit. Herawati (1996), sebagian besar bakteri berpendar bersifat halofil yang tumbuh
optimal pada air laut bersalinitas 20-40‰. Bakteri
Vibrio berpendar termasuk bakteri anaerobic
fakultatif, yaitu dapat hidup
baik dengan atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio tumbuh pada pH 4 - 9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5 - 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 (Baumann et al., 1984 cit. Herawati, 1996).
2.2 Penyakit Vibriosis Udang
Windu
Genus Vibrio merupakan agen penyebab
penyakit vibriosis yang menyerang hewan laut seperti ikan, udang, dan
kerang-kerangan. Spesies Vibrio yang berpendar umumnya menyerang larva udang
dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar. Bakteri Vibrio
menyerang larva udang secara sekunder yaitu pada saat dalam keadaan stress dan lemah, oleh karena itu
sering dikatakan bahwa bakteri ini
termasuk jenis opportunistic patogen. Gambar vibriosis pada tahap postlarva dan koloni Vibrio
sp. dapat dilihat pada Gambar 2. Pemberian pakan yang tidak terkontrol
mengakibatkan akumulasi limbah organik di dasar tambak sehingga menyebabkan
terbentuknya lapisan anaerob yang menghasilkan H2S (Anderson et
al., 1988 cit. Muliani, 2002). Akibat akumulasi H2S
tersebut maka bakteri patogen oportunistik, jamur, parasit, dan virus mudah
berkembang dan memungkinkan timbulnya penyakit pada udang (Tompo et al., 1993
cit. Muliani, 2002).
A. Vibriosis postlarva udang windu
|
B. Koloni Vibrio sp. pada esophagus
|
|
Gambar 2. Udang Windu yang Terserang
Vibriosis (Breed et al., 1948)
|
Ciri-ciri udang yang
terserang vibriosis antara lain kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu
makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah (red discoloration)
pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala
(Sunaryoto et al., 1987). Udang yang terkena vibriosis akan menunjukkan
gejala nekrosis. Gambar 2 menunjukkan bagian kaki renang (pleopoda) dan
kaki jalan (pereiopoda) menunjukkan melanisasi. Bagian mulut yang
kehitaman adalah kolonisasi bakteri pada esophagus dan mulut.
2.3 Patogenesis Bakteri Vibrio
pada Udang Windu
Tingkat kematian udang windu yang diinfeksi Vibrio harveyii dengan kepadatan 103 cfu/ml berbeda berdasarkan umur. Pada
stadia zoea I tingkat kematian udang sebesar 74%, stadia mysis I 73%, dan
postlarva 1 (PL1) 69%, postlarva 2 (PL2) 51,5% (Prayitno dan Latchford, 1995 cit.
Muliani, 2002). Jiravanichpaisal et al., (1994) cit. Muliani
(2002) melaporkan bahwa mortalitas udang windu dewasa yang diinjeksi Vibrio harveyii isolat B-2 dengan kepadatan 8,20 x 105 cfu/ekor sebesar 100%,
dan udang yang diinfeksi dengan Vibrio harveyii isolat B-4
dengan kepadatan 1,55 x 106 cfu/ekor sebesar 80%.
A. Udang tampak normal
|
B. Udang berpendar pada cahaya gelap
|
|
Gambar 3. Bioluminescens Udang Windu Vibriosis (Breed et al., 1948)
|
Tingkat patogenesis
bakteri ditentukan oleh suatu mekanisme dalam proses pertumbuhan. Menurut
Greenberg (1999) cit. Muliani (2002) suatu mekanisme yang umum untuk
mengontrol kepadatan populasi bakteri gram negatif adalah dengan menghambat
komunikasi antar sel. Kemampuan komunikasi satu sama lain terjadi setelah
mencapai quorum sensing yang terjadi karena adanya suatu senyawa acylhomoserine
lactone. Sifat virulensi Vibrio harveyii
berkaitan erat dengan fenomena
bioluminescense yang dikontrol oleh sistem quorum sensing.
2.4 Resistensi Bakteri Vibrio terhadap
Antibiotik
Penyakit udang yang disebabkan
oleh bakteri Vibrio sp. masih menjadi fokus perhatian utama dalam
produksi budidaya udang. Penggunaan antibiotik dalam budidaya udang adalah
mahal dan merugikaqn karena dapat memunculkan strain bakteri yang tahan
terhadap antibiotik serta munculnya residu antibiotik dalam kultivan (Decamp
dan Moriarty, 2006a). Antibiotik
merupakan suatu senyawa kimia yang sebagian besar dihasilkan
oleh mikroorganisme, karakteristiknya
tidak seperti enzim, dan merupakan hasil
dari metabolisme sekunder. Penggunaan antibiotik yang berlebih pada tubuh manusia dapat menyebabkan
resistensi sel mikroba
terhadap antibiotik yang digunakan. Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya sel mikroba
oleh antibiotik (Gan et.al., 1987 dalam Putraatmaja, 1997). Sejumlah isolat Vibrio berpendar yang diisolasi dari hatcheri udang windu di Jawa Timur ternyata resisten
terhadap berbagai macam antibiotik
seperti spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol, eritromisin, kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan
rifampisin. Sementara
di lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang
terhadap ekspor udang Indonesia (Tompo et al., 2006).
2.5 Bakteri Antagonis
Salah satu pengendalian bakteri patogen adalah mempertemukan dengan
bakteri antagonisnya. Vershere
et al. (2000) cit. Isnansetyo
(2005) mengemukakan bahwa bakteri antagonis dalam perannya sebagai agen
pengendalian hayati melalui mekanisme menghasilkan senyawa penghambat pertumbuhan patogen, kompetisi pemanfaatan senyawa
tertentu atau kompetisi tempat menempel,
mempertinggi respon imun inang, meningkatkan kualitas air dan adanya interaksi
dengan fitoplankton. Bakteri antagonis yang digunakan sebagai agen pengendalian
hayati dimasukkan dalam istilah probiotik. Menurut Gatesoupe (1999), probiotik merupakan mikrobia yang
diberikan dengan berbagai cara
sehingga masuk dalam saluran pencernaan dengan tujuan mempertinggi derajat kesehatan inang.
Menurut Gomez-Gil et al. (2000) cit. Tepu, (2006), pengendalian hayati adalah penggunaan musuh alamiah untuk mengurangi kerusakan yang
ditimbulkan oleh organisme yang berbahaya atau pengaturan populasi penyakit
oleh musuh alamiahnya. Tjahjadi et al. (1994) menyatakan bahwa populasi
bakteri Vibrio harveyii di lingkungan pemeliharaan udang dapat ditekan
dengan cara mengintroduksikan bakteri
tertentu yang diisolasi dari perairan laut di sekitar tambak atau pembenihan
udang. Tetraselmis suecica dilaporkan mampu menghambat Aeromonas
hydrophila, A. salmonidica, Serratia liquefaciens, Vibrio anguilarum, V.
salmonisida, Yerisnia rockery (Austin et al., 1992), Lactobacillus
spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat
menghambat Vibrio anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp.,
dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio
(Suprapto, 2005).
Bakteri Vibrio sp. NM 10 yang
diisolasi dari Leiognathus nuchalis bersifat antagonis terhadap Pasteurella piscicida karena menghasilkan protein dengan berat molekul kuang dari 5 kDA. Protein tersebut diduga bacteriocin
atau senyawa serupa bacteriocin (bacteriocin like substance)
(Sugita et al., 1997 cit. Isnansetyo, 2005). Bacteriocin adalah
senyawa yang banyak dihasilkan oleh bakteri asam laktat (Ringo and Gatesoupe,
1998). Kamei dan Isnansetyo (2003) menemukan Pseudomonas sp. AMSN mampu
menghambat pertumbuhan Vibrio alginolyticus karena menghasilkan senyawa
2,4 diacetylploroglucinol. Bacillus sp. NM 12 yang diisolasi dari
intestine ikan Callionymus sp. mampu menghambat Vibrio vulnificus RIMD
2219009 dengan cara menghasilkan siderofor (Sugita et al., 1998). Siderofor
merupakan protein spesifik pengikat ion Fe dengan berat molekul rendah yang
mampu melarutkan Fe yang mengendap. Mekanisme tersebut merupakan kompetisi pemanfaatan
senyawa tertentu oleh mikroorganisme.
2.6 Udang Windu
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan
udang komoditas asli daerah tropis yang telah berkembang menjadi industri sejak
awal dekade 1980-an. Nama windu dalam bahasa perdagangan adalah giant tiger
prawn, black tiger prawn atau
black tiger shrimp (Hadiwiyoto, 1993). Genus ini mudah sekali dibedakan
dengan genus-genus dengan melihat rostrumnya yang rumus 7/3, artinya pada sisi
atas tanduk terdapat 7 gigi sedang pada sisi bawah mempunyai gigi 3. Badannya
bergaris tengah rata-rata 1,5-5 cm. Menurut
Tricahyo (1992), udang windu termasuk keluarga Arthropoda, klas Crustacea, ordo
Decapoda dan spesies Penaeus monodon Fabr.
Gambar 4. Morfologi udang windu (Penaeus
monodon) (Rachmatun dan Mujiman, 1989)
Keterangan
gambar:
1. Cangkang kepala; 2. Cucuk kepala; 3. Mata; 4. Sungut kecil (antennules); 5.
Kepet kepala (sisik sungut); 6. Sungut; 7. Alat-alat pembantu rahang
(maxilliped); 8. Kaki jalan (pereiopoda, 5 pasang); 9. Kaki renang (pleopoda , 5
pasang); 10. Ekor kipas (uropoda); 11. Ujung ekor (telson).
Daur hidup udang Penaeus menurut Wyban dan
Sweeney (1991) adalah udang betina bertelur – telur – naupli – protozoea –
mysis – poslarva – juvenil – udang dewasa (gambar 5).
Gambar 5. Daur
hidup udang Penaeus (Wyban dan Sweeney, 1991)
Stadia yang pertama adalah stadia
nauplius yang terjadi setelah telur
menetas. Larva masih memiliki cadangan
makanan dalam tubuh berupa kuning telur (Sirajudin, 1997). Stadia zoea terdiri dari 3 substadia yang berlangsung selama 6 hari dan
mengalami alih bentuk 3 kali. Stadia
mysis dicirikan oleh bentuk larva
yang mulai menyerupai udang dewasa.
Pleopod dan telson mulai berkembang
dan larva bergerak mundur (Tjahjadi, 1994). Selanjutnya stadia mysis mengalami alih bentuk menjadi postlarva.
Selama 5 hari
pertama stadia postlarva, udang
masih bersifat planktonis, dan pada
stadia postlarva-6 udang mulai merayap di dasar (Toro dan Soegiarto, 1979 cit. Tjahjadi, 1994).
IV. PEMBAHASAN
4.1 Manfaat Penggunaan Bakteri Antagonis
1. Ramah
Lingkungan
Pengendalian dan
pengobatan penyakit akibat infeksi bakteri sebagian besar bertumpu pada
penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut pada kenyataannya belum memberikan
hasil yang memuaskan, kadang-kadang justru menimbulkan dampak negatif
antara lain meningkatkan resistensi
bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al., 1994), karena bakteri sangat mudah
mengembangkan sistem ketahanan terhadap antibiotik yang kemudian menjadi
masalah utama di dunia akuakultur. Residu antibiotik dalam jaringan tubuh udang
juga mengakibatkan penolakan udang di pasar dunia.
Bergesernya
paradigma konsumen udang menuju keamanan pangan dan kelestarian lingkungan
mengharuskan pembudidaya udang untuk merevisi visi dan misinya agar budidaya
tetap berlanjut. Salah satu alternatif sebagai upaya untuk menjamin
kelangsungan produksi, mencegah dan menanggulangi penyakit vibriosis pada
budidaya udang windu adalah melalui
pendekatan pengendalian hayati. Pendekatan pengendalian hayati dilakukan melalui
penggunaan probiotik dengan menggunakan
aktivitas mikroorganisme yang dapat menekan atau mendegradasi substrat
pengganggu bagi organisme yang dibudidayakan tanpa menimbulkan dampak buruk
terhadap sistem keseimbangan ekologis mikrobia, ramah lingkungan, serta tidak
meninggalkan residu (food security dan food safety). Pengendalian
hayati dalam akuakultur dengan menggunakan probiotik antagonis salah satu cara
penanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan untuk menciptakan sistem
akuakultur yang ramah lingkungan. Pengendalian hayati ini dapat diterapkan pada
berbagai tahapan akuakultur dan pada berbagai komoditas perikanan serta
terhadap berbagai patogen.
2.
Mengurangi Penggunaan Antibiotik
Pengendalian dan
pengobatan penyakit akibat infeksi Vibrio harveyi sebagian besar bertumpu
pada penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut pada kenyataannya belum memberikan
hasil yang memuaskan, kadang-kadang justru menimbulkan dampak negatif
antara lain meningkatkan resistensi
bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik. Antibiotik pada budidaya udang digunakan untuk
pengobatan serta profilaksis (pencegahan). Profilaksis dilakukan dengan
pengunaan antibiotik pada dosis rendah dalam jangka panjang. Pada kenyataannya,
usaha semacam ini tidak menekan penyakit, tetapi bahkan menjadi pemicu
resistensi patogen terhadap antibiotik.
Udang sebagai komoditas mewah perlu mendapatkan perhatian khusus dalam
hal ini, karena devisa yang didapat dari udang cukup besar yaitu diperkirakan
sekitar 630 juta dolar dan tertinggi dibanding pendapatan dari spesies budidaya
yang lain (Dahuri, 2004). Alasan kedua adalah pasar ekspor udang sudah jelas. Akhir-akhir
ini ekspor udang terhambat oleh ecolabelling, petisi anti dumping dan
isu antibiotik. Sehingga harga udang jatuh pada akhir tahun 2003 (Suryadarma,
2004). Peristiwa ini cukup beralasan karena timbulnya kesadaran dari masyarakat
terhadap kesehatan dan lingkungan. Selanjutnya muncul kampanye di negara maju
untuk tidak makan udang tropis dengan alasan lingkungan. Menurut Isnansetyo (2005), pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting
karena dengan penggunaan bakteri
antagonis dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem
budidaya yang ramah lingkungan.
3. Aplikasi keamanan hayati dalam Industri Budidaya Udang
Aplikasi keamanan
hayati dimaksudkan sebagai upaya pengaturan agar tambak tidak
terinfeksi/terkontaminasi penyakit serta mengupayakan agar tambak tidak menjadi
sumber penularan penyakit bagi tambak lainnya (Haris, 2007). Lebih lanjut Fegan
dan Clifford (2001) menambahkan bahwa aplikasi prinsip-prinsip keamanan
hayati pada tambak udang telah terbukti efektif membantu mengurangi
risiko kerugian karena penyakit dan dapat meningkatkan produksi. Haris (2007)
menambahkan bahwa salah satu penerapan keamanan
hayati pada praktik manajemen produksi budidaya adalah dengan aplikasi
teknologi probiotik yang ramah lingkungan. Metode ini diyakini menjadi solusi
terkini yang paling efektif mencegah risiko kerugian akibat penyakit.
Konsep aplikasi keamanan
hayati dalam budidaya udang diutamakan adalah pengendalian benih
udang (karantina vertikal) dan lingkungan (karantina horizontal) bebas dari patogen.
Sistem ini dipraktikkan dengan penebaran benih udang bebas patogen, SPF (specific
pathogen free) kedalam tambak yang sumber airnya dikontrol dengan baik
(Lightner, 2003). Aplikasi bakteri antagonis dapat digunakan sebagai alternatif
profilaksis yang tepat terhadap penggunaan bahan kimia, termasuk antibiotik dna
biosida. Bakteri antagonis dapat berkompetisi dengan bakteri patogen dalam
perebutan nutrisi makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri
patogen.
4.2. Pengembangan Bakteri Antagonis
Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 411 tahun 1995, pengendalian hayati adalah setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya. Tahapan pengembangan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati dapat dilakukan melalui:
1. Seleksi Bakteri Antagonis
Seleksi dilakukan dengan mengisolasi calon agen pengendali hayati dari populasi
alaminya, seperti kelompok mikroba saprofit
atau nonpatogen, atau mutan yang
tidak patogen. Pada tahap seleksi awal
ini, informasi tentang keefektifan dan identitas
calon agen pengendali hayati perlu dikuasai dengan baik agar pengembangannya di masa datang tidak menjadi masalah.
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol telah melakukan penelitian tentang
pengendalian Vibrio Harveyii secara biologis pada larva udang windu dan diperoleh dua isolat bakteri penghambat yaitu
GSB-95030 dan GSB-95033 (Roza et al.,
1998). Berdasarkan uji biokimia dan karakteristik biologis (lampiran 1), isolat
GSB-95030 diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus sedangkan isolat GSB-95033 diidentifikasi sebagai Flavobacterium meningosepticum.
Suatu strain dalam satu spesies dapat dijadikan sebagai agen pengendalian
hayati tetapi strain yang lain dalam spesies tersebut mungkin tidak mempunyai
kemampuan sebagai pengendali hayati terhadap patogen yang sama. Selain itu
suatu strain dari suatu spesies mungkin dapat bersifat patogen tetapi strain
lain dari spesies tersebut dapat digunakan sebagai pengendali hayati. Sebagai contohnya
Vibrio alginolyticus. Strain dari bakteri Vibrio tersebut dapat
digunakan sebagai agen pengendali hayati dalam budidaya salmon (S. salam),
udang windu (Penaeus monodon) dan udang vannamei (Litopneaeus
vannamei), walaupun strain lain dari Vibrio alginolyticus juga
diketahui sebagai patogen.
2. Uji Efektivitas Bakteri Antagonis
Tahap kedua adalah
menguji keefektifan agen pengendali hayati
dalam kondisi terbatas dan homogen, misalnya dalam cawan petri in vitro, terhadap patogen
target. Apabila suatu agen pengendali hayati menunjukkan penekanan terhadap patogen target, yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambatan
maka dilakukan tahap pengujian
terbatas dalam kondisi terkontrol. Penelitian tentang uji sensitivitas bakteri
antagonis telah dilakukan oleh Roza et al., (1999) terhadap isolat GSB-95030 dan
GSB-95033. Metode yang digunakan berupa sensitivity disc
agar (SDA) (Gambar 7).
Isolat
GSB-95030 dan GSB-95033
6
botol (15 ml) pepton broth 1 % NaCl
3 botol GSB-95030 3
botol GSB-95033
Inkubasi
24, 72 dan 144 jam
Sentrifus 15 menit 3000 rpm
Ambil
supernatan 5 ml
Kultur
Vibrio harveyi kedalam petri 20 mL yang berisi media Sensitivity Disk Agar (SDA)
secara merata
Rendam
kertas sensitivity disk selama 1 menit dalam supernatan yang telah diencerkan
Letakkan kertas sensitivity disk pada
tengah pelat agar
(kontrol kertas sensitivity disk tanpa direndam)
Inkubasi
24 jam 25 °C
Amati
zona hambatnya
Gambar 7. Diagram alir pengujian sensitivitas bakteri penghambat
terhadap pertumbuhan Vibrio harveyii
Berdasarkan hasil penelitian Roza et al. (1999) diketahui bahwa kedua isolat
bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 tersebut mempunyai aktivitas dalam menekan perkembangan Vibrio
Harveyii. Hal ini terlihat dengan adanya
zona hambat di sekeliling kertas sensitivity disk yang bebas dari Vibrio Harveyii (Tabel 1), sedangkan dalam aplikasi pemanfaatan bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 dalam pemeliharaan
larva udang dapat menekan perkembangan Vibrio harveyii dengan
skala pemeliharaan yang lebih besar.
Hasil aplikasi
pemanfaatan bakteri penghambat dalam pemeliharaan
larva udang dapat dilihat pada (Tabel 2). Isolat-isolat bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033
tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Vibrio harveyii dalam air pemeliharaan larva udang windu sampai
kepadatan yang jauh lebih rendah yakni
5,3 x 102 cfu/ml
dengan sintasan 67,8% dan 9,9 x 102 cfu/ml
dengan sintasan 63,5%, dibandingkan
dengan kontrol 8,7 x 104 cfu/ml dengan sintasan lebih rendah 18,1%.
Tabel 1.
Sensitivitas V. Harveyii terhadap isolat GSB-95030 dan GSB-95033 dengan
24, 72, dan 144 jam masa inkubasi
Isolat
|
Zona (cm) yang bebas Vibrio harveyii
|
||
24 jam
|
72 jam
|
144 jam
|
|
GSB-95030
|
0.60
|
0.71
|
0.80
|
GSB-95033
|
0.90
|
0.98
|
1.02
|
Kontrol
|
0.00
|
0.00
|
0.00
|
Sumber: Roza et al.,
1999
Apabila pada tahap ini kemampuan agen
pengendali hayati masih konsisten dalam menekan perkembangan patogen target maka perlu dilanjutkan dengan tahap uji lapang dalam skala terbatas. Pada pengujian lapang,
biasanya agen pengendali hayati harus diformulasikan
secara lebih baik. Dalam proses
pembuatan formula, semua bahan yang
digunakan harus dipastikan tidak akan
menimbulkan kerusakan pada target, mikroba bukan sasaran, dan lingkungan. Bila pada tahap lanjutan ini pun
calon agen pengendali hayati masih
menunjukkan potensi penekanan yang
stabil maka pengujian dalam skala lebih luas dapat dilaksanakan.
Tabel 2. Hasil
aplikasi pemanfaatan bakteri antagonis
Isolat
|
Percobaan 1
|
Percobaan 2
|
||||
Vibrio Harveyii
|
Sintasan larva
|
Vibrio Harveyii
|
Sintasan larva
|
|||
Awal
|
Akhir
|
Awal
|
Akhir
|
|||
GSB-95030
|
6,7
|
2,9a
|
63,5a
|
6,6
|
3,1a
|
59,2a
|
GSB-95033
|
6,7
|
2,7a
|
67,8a
|
6,6
|
3,0a
|
68,3a
|
Kontrol
|
6,7
|
5,0b
|
18,1b
|
6,6
|
4,9b
|
21,6b
|
Nilai
dalam kolom diikuti dengan huruf superskrip yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
Sumber (Roza et al., 1999)
3.
Komersialisasi
Tahap terakhir adalah
komersialisasi agen pengendali hayati. Pada tahap ini diperlukan peran industri untuk memperbanyak
agen
pengendali hayati secara massal dan memformulasikannya dalam bentuk yang
lebih stabil dan terstandar. Pada
tahap akhir inilah data tentang analisis
risiko dari suatu agen pengendali
hayati harus dilengkapi untuk memperoleh izin penggunaannya. Beberapa
agens hayati berpeluang dapat menyebabkan
kerusakan pada lingkungan atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu agens hayati. Berdasarkan pedoman yang disusun oleh FAO (1988 dan 1997) tentang agen hayati untuk tujuan komersial, setiap pengajuan harus dilengkapi dengan informasi mengenai kejelasan
identitas dari bahan aktif, karakteristik biologi, data toksisitas, dan data
residu serta toksisitas bagi lingkungan.
4.3 Aplikasi
Bakteri Antagonis
Aplikasi
pengendalian hayati ini dapat dicobakan mulai dari penyediaan pakan alami yaitu
fitoplankon (S. Costatum) dan zooplankon (Brachionus dan Artemia)
pada pemeliharaan larva, post larva, maupun benih. Inveksi patogen khususnya
pada stadium larva dan post larva sangat tinggi karena sejak kecil udang
terpapar dalam air yang banyak mengandung mikroorganisme. Aplikasi bakteri antagonis dapat diterapkan dalam pembuatan pakan obat
yaitu dengan menambahkan probiotik dari bakteri antagonis. Pakan tersebut
diharapkan dapat membantu menciptakan mekanisme pertahanan tubuh udang,
sehingga udang tidak mudah terserang vibriosis. Suprapto (2005) menggunakan
formulasi pakan obat dengan metode pembuatan sebagai berikut: Probiotik
antagonis Bacillus sp. dengan kepadatan 12,5x103 sel/ml
dicampurkan ke dalam pakan. Pencampuran bakteri pada pakan dilakukan dengan
cara menumbuhkan bakteri selama 48 jam pada TSA pada suhu 250C
dengan 1% NaCl (w/v). Sel bakteri kemudian di panen dengan sentrifugasi 10.000xg
selama 15 menit. Sel dimasukkan kedalam 100 ml physiological saline (0,85%
NaCl) sebanyak 2,5x105 sel/ml dan dicampur dengan jumlah yang sama
dengan minyak ikan. Emulsi dicampurkan kedalam 1 kg pakan dengan cara mengaduk
selama 30 menit untuk mendapatkan dosis eqivalen 25x103 sel/g pada
pakan dengan jumlah kandungan minyak ikan sebanyak 10% (w/v).
Penciptaan lingkungan
pemeliharaan larva udang windu yang betul-betul bebas bakteri Vibrio sulit
dilakukan karena bakteri tersebut dapat masuk melalui berbagai sumber, antara lain
air laut, induk udang, dan makanan alami. Bakteri Vibrio harveyii
tidak perlu dikendalikan sampai habis, tetapi hanya perlu dikendalikan
populasinya pada batas aman, yaitu kurang dari l04 sel/ml. Inokulasi secara
langsung dilakukan melalui pemberian bakteri antagonis kedalam bak pemeliharaan
dengan
dosis 106 cfu/ml setelah dilakukan pergantian air (Susanto et al., 2005). Aplikasi bakteri
antagonis dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu jangka pendek (short duration), panjang (prolonged
treatment), dan tidak terbatas (indefinite treatment).
4.4 Nilai Ekonomis Udang Hasil Budidaya
Prospek
pengembangan udang windu sebagai komoditas asli Indonesia mempunyai peluang
bisnis yang cerah. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya luas lahan
budidaya tambak udang Indonesia sampai tahun 2002 mencapai 913.000 ha dengan
pemanfaatannya baru mencapai 411.230 ha (45,43%). Pemerintah mentargetkan
produksi udang windu budidaya tahun 2007-2009, masing-masing sebesar 126.228
ton; 146.615 ton; dan 162.355 ton (DKP, 2006 cit. Kordi 2007) dengan target
perolehan devisa sebesar US $ 8 milyar/th.
Menurut Dahuri
(2004), potensi lestari perikanan tangkap dilaut bernilai rata-rata 6,4 jt
ton/th, sedangkan jumlah tangkap yang diperbolehkan hanya sebesar 80%-nya saja
(sekitar 5,12 jt ton/th). Untuk dapat memenuhi kebutuhan pasaran dunia,
Indonesia akan mengintensifkan lahan air payau untuk budidaya udang. Saat ini
ditaksir luas lahan budidaya udang Indonesia mencapai 1.000.000 ha sehingga langkah
awal yang ditempuh, apabila 500.000 ha dapat diusahakan sebagai tambak udang
windu organik dengan rata-rata produksi sebesar 2 ton/ha/th, maka produksi
udang nasional sebesar 1.000.000 ton/th dengan nilai ekspor 1.000.000 ton/th ×
US $ 8 /kg = US $ 8 milyar/th dapat dicapai.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
- Pengendalian hayati pada budidaya udang windu merupakan salah satu cara penanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan untuk menciptakan sistem akuakulur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta dapat mengurangi penggunaan antibiotik
- Pengembangan bakteri antagonis sebagai langkah keamanan hayati dilakukan melalui tahap seleksi bakteri antagonis nonpatogen, pengujian efektivitas dan uji lapang, serta komersialisasi agen pengendali hayati.
- Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting, yaitu guna mempersiapkan sistem akuakultur organik sehingga aplikasi bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik Indonesia.
5.2 Saran
1.
Beberapa
jenis bakteri antagonis telah diketahui, namun bakteri antagonis tersebut
bersifat spesifik di setiap daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan
inventarisasi potensi agar bakteri antagonis dapat dimanfaatkan optimal.
2.
Perlunya
kerjasama terpadu antara berbagai pihak, pemerintah, perguruan tinggi, dan
pengusaha untuk memajukan budidaya udang windu Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosumarsono, M. M.I.
Madeali, Muliani, dan A. Tompo. 1993. Studi Kasus Penyakit Udang di Kabupaten
Pinrang. di dalam: Hanafi, A., M. Atmosumarsono., S. Ismawati. Seminar Hasil
Penelitian Perikanan Budidaya Pantai; Maros, 16-19 Juli. Maros.
Anonim. 2000. Bioluminessence. http://lux.ibp.ru/info/history_html_652ca394.jpg. [4
Januari 2008].
Anonimous, 2004c. Draf Pedoman Umum Pengendalian Pencemaran
di Kawasan Budidaya Perikanan. Subdit
Pengendalian Pencemaran Laut, Direktorat Bina Pesisir Ditjen P3K Departemen
Kelautan dan Perikanan RI.
Austin, B., E.
Baudet., M. Stobie. 1992. Inhibition of Bacteria Fish Patogens by Tetraselmis
suecica. J. Fish of Disease: 15:
53-61.
Breed, R.S., E.G.D. Murray and A.P. Hitchens.
1948. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 6th ed.
Baltimore: Wevereley Press.
Dahuri, R. 2004. Perkembangan dan Harapan
Pembangunan Perikanan Budidaya Indonesia ke Depan. dalam Simposium Perkembangan
dan Inovasi Ilmu dan Teknologi Akuakultur. Agung Sudaryono et al (ed.).
Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia.
Decamp, O. Adn D.J.W.
Moriarty. 2006a. Probiotics as Alternative to Antimicrobials:
Limitations and Potential. World Aquaculture: Dec, 2006. Vol 37 (4): 60-62.
Egidius, E. 1987.
Vibriosis. Pathogenicity and Pathology. A Review. Aquaculture: 87: 15-28.
FAO. 1988 Guidelines for the Registration of
Biological Pest Control Agents. Food and Agriculture Organization of the
United Nations, Rome. 7 pp.
FAO. 1997. Code of Conduct For The Import And Release of Exotic Biological Control Agents. Biocontrol
News and Information 18(4): 119N-124N.
Fegan,
D.F. and H.C. Clifford III. 2001. Health Management for Viral Diseases in
Shrimp Farms. In C.L. Browdy and D.E. Jory, editors. The New Wave,
Proceedings of the Special Seassion on Sustainable Shrimp Culture. Aquaculture
2001. The World Aquaculture Society, Baton Rouge, Lousiana, USA.
Gatesoupe, F.J. 1999. The Use of Probiotics
in Aquaculture. Aquaculture. 180:147-185.
Gram, L., J. Melchiorsen, B.
Spanggard, I. Huber, T.F. Nielsen. 1999. Inhibition of Vibrio anguilarum AH
2 a Possible Probiotic Treatment of Fish. Appl. Environ. Microbiol.: 123:
31-32.
Gultom, D.M. 2003. Patogenisitas Bakteri Vibrio Harveyii Pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto, S. 1993.
Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty.
Haris,
E. 2007. Terobosan Baru dalam Produksi Udang yang Berkelanjutan dan Aman.
Makalah Presentasi Konferensi Aquaculture Indonesia. Surabaya, 5-7 Juni 2007.
Masy. Akuakultur Indonesia. 7 hal.
Herawati,
E. 1996. Karakterisasi Fisiologi dan Genetik Vibrio Berpendar sebagai Penyebab
Penyakit Udang Windu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Holt, J.G., N.R.
Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Stanley, and S.T. Williams. 1994. Bergey's Manual of Determinative Bacteriology. Ninth Edition_ Williams and
Wilkins, Balmore, Maryland, USA. 373.
Irianto, A. 2003. Probiotik
Akuakultur. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Isnansetyo,
A. 2005. Bakteri Antagonis sebagai Probiotik untuk Pengendalian Hayati pada
Akuakultur. Jurnal Perikanan: Vol. VII
(1): 1-10.
Jiranvanichpaisal, P., P.
Chauchowang. 1997. The Use of Lactobacillus sp. as the Prebiotic Bacteria In
The Giant Tiger Shrimp. Phuket, Thailand.
Kamei, Y. and A. Isnansetyo. 2003.
Lysis of Methicilin-Resistant Staphylococcus aureus by
2,4-diacetylphloroglucinol Produced By Pseudomonas sp. AMSN Isolated
From Marine Alga Int. J. Antimicrob Agents: 21: 71-74.
Kordi, M.G.H. 1997. Budidaya Air Payau. Semarang: Dahara Prize.
Lightner, D.V. 2003.
Exclusion of Specific Pathogens for Disease Control in a Penaid Shrimp
Biosecurity Program. In C.S. Lee and P.J. O’Bryen, editors. Biosecurity
in Aquaculture Production Systems; Exclusion of Pathogens and Other
Undesirables. The World Aquaculture Society,
Baton Rouge, Lousiana, USA.
Machalek, A.Z. Bugging the Bugs. http://publications.nigms.nih.gov/biobeat/05-09-20/05-09-20-01.jpg.
[18 April 2008].
Muliani.
2002. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asal Laut Sulawesi untuk Biokontrol
Penyakit Vibriosis pada Udang Windu. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Prayitno, S.B. 1994. Studies of
Bacteria Causing Prawn Disease in Indonesia with Special Emphasis on Luminous
Bacterial Disease. Bangor: School of Ocean Science. University of North Wales.
Putraatmaja, E. 1997. Analisis Residu Antibiotik Pada Udang
Akibat Perlakuan Sebelum Proses Pengolahan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Rahmatun, S. dan Ahmad
Mujiman. 1989. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya.
Roza, D. dan Zafran. 1998.
Pengendalian Vibrio harveyi Secara
Biologis pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon): Aplikasi Bakteri Penghambat. J. Penelitian Perikanan Indonesia: 4 (2) : 24-30.
Roza, D. dan F. Johnny.
1999. Pengendalian Vibrio harveyi pads
Larva Kepiting Bakau (Scyila serrata Forsskal) Melalui Disinfeksi Induk Selama Fengeraman Telur. J. Penelitian
Perikanan Indonesia: 5 (2) : 28-34.
Suprapto, H. 2005. Studi Pendahuluan Bacillus sp. sebagai
Probiotik untuk Mengurangi Jumlah Bakteri Vibrio sp. pada
Hepatopangkreas dan Air Pemeliharaan. Jurnal
Perikanan: Vol. VII (1): 54-59.
Sugita. H. K. Shibuga. 1996.
Antibacterial Capabilies of Instinal Bacteria I Fresh Water Cultured Fish.
Aquaculture: 145: 195-203.
Suryadarma, J. 2004. Manis Getirnya Eksportir Produk Akuatik
Indonesia. di dalam: Agung Sudaryono et al (ed.). Simposium
Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan Teknologi Akuakultur; Semarang. Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia.
249-251.
Susanto, B., L Setyadi, D. Syahidah,
M. Marzuki dan Rusdi. 2005. Penggunaan Bakteri Probiotik Sebagai Kontrol Biologi dalam Produksi Massal Benih Rajungan (Portunus
pelugicus). J. Perikanan Indonesia: 11 (1): 15-23.
Tangko, A.M., A. Mansyur, dan Reski. 2007. Penggunaan Probiotik pada
Pakan Pembesaran Bandeng dalam Keramba Jaring Apung di Laut. J. Riset
Akuakultur: 2: 33-40.
Tepu, I. 2006. Seleksi Bakteri Probiotik untuk Biokontrol Vibriosis
pada Larva Udang Windu Penaeus monodon Menggunakan Cara Kultur Bersama. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Tjahjadi, M.R. 1994. Bakteri Penghambat Vibrio harveyii untuk
Menanggulangi Penyakit Berpendar pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon
Fabr.). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Tompo, A., E. Susianingsih., M.E. Madeali, dan M. Atmomarsono. 2006. di dalam Murwantoko et. al. Pengaruh
Vaksinasi untuk Pencegahan Penyakit pada Budidaya Udang Windu (Penaeus
monodon Fabr.) di Tambak. 27 Juli. Yogyakarta: Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM. 244-249.
Tricahyo,
E. 1992. Biologi dan Kultur Udang Windu. Jakarta: Akapress.
Wyban, J.A., dan Sweeney,
J.N., 1991. Intensive Shrimp Production Technology. Hawai: The Oceanic
Institute.
Lampiran 1. Karakteristik dua isolat
bakteri antagonis dibandingkan dengan Flavobacterium meningosepticum menurut
Cowan (1974) dan Acuigrup (1980) serta Vibrio alginolyticus menurut
Bauman et al., (1984) dan Holt et al., (1994)
Karakteristik
|
Isolat GSB-95030
|
V. algino Bauman et
al. (1984)
|
V. algino
Holt et
al. (1984)
|
Isolat
GSB-95033
|
F. mening.
Cowan
(1874)
|
F. mening. Acuigrup
(1980)
|
Pewarnaan Gram
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Gerakan pada MA
|
+
|
+
|
+
|
-
|
-
|
Nt
|
Katalase
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Oksidase
|
+
|
+
|
F
|
O
|
Nt
|
O
|
Uji O-F
|
F
|
F
|
+
|
-
|
-
|
+
|
Motility
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
H2S
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
-
|
Indol
|
+
|
+
|
||||
Gas dari glukosa
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
L arginin
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
L ornitin
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Lysin
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Gelatin
|
+
|
+
|
+
|
-
|
+
|
-
|
Asam dari
|
||||||
Arabinose
|
-
|
-
|
+
|
Nt
|
+
|
|
Glucose
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Lactose
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Sucrose
|
+
|
+
|
+
|
-
|
-
|
Nt
|
Xylose
|
-
|
-
|
Nt
|
-
|
Nt
|
-
|
Bercahaya
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Tumbuh pada
|
||||||
SS agar
|
Nt
|
Nt
|
Nt
|
-
|
-
|
Nt
|
MC agar
|
Nt
|
Nt
|
Nt
|
+
|
+
|
Nt
|
TCBS agar
|
Y
|
Y
|
Y
|
-
|
-
|
-
|
Tumbuh(0C)
|
||||||
30
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
35
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
42
|
+
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
Pigmentasi
|
-
|
-
|
-
|
Y
|
Y
|
Y
|
+ = positif - = negatif Nt = tidak diuji
O = oksidatif F
= fermentative Y = kuning
Sumber: Roza et al., 1999
Lampiran 2. Komposisi bahan dalam setiap gram Haimix-S/g
Komposisi
|
Kandungan
|
Lactobacillus Powder
|
4x105
cell
|
Dextrose
|
80 mg
|
Ascorbic Acid
|
3
0 mg
|
Biodiastase
|
1
5 mg
|
Nicotinamide
|
1
0 mg
|
Lycine HCl
|
10 mg
|
Dibasic
|
10 mg
|
Dextrine
|
10 mg
|
Mononitrate
|
2 mg
|
Pan totenate
|
2 mg
|
Lactose
|
1 mg
|
Vitamin B
|
1 mg
|
Vitamin E
|
1 mg
|
Folic Acid
|
0.5 mg
|
Vitamin A
|
2,500 lu
|
Vitamin D
|
200 Iu
|
Sumber : Yastar International
Co. Ltd Singen cit. Tangko et al., 2007